Wednesday, September 7, 2011

kupat janur klapa dalam lebaran



Beberapa hari menjelang Lebaran ini, ada banyak hal dan juga kabar yang lumayan bisa menjadikan banyak cerita baik di media cetak ataupun media elektronik. Ada berita tewasnya dedengkot Térosrist, Noordin M Top, ada yang berharap cemas tentang Lebaran yang masih tentative, belum lagi mengenai mulai susahnya sarana transportasi bagi mereka yang berkeinginan pulang kampung. Namun ada satu hal yang tadi saya lihat mampu menarik simpati untuk menuliskannya, yaitu beberapa orang yang bersepeda memuat satu bawaan ketupat, mereka adalah pedagang ketupat musiman…

Dalam tradisi puasa baik dari pertengahan bulan puasa sampai dengan saat berlebaran seperti sebentar lagi akan dirayakan oleh kita semua (terutama umat muslim) acapkali kita melihat hidangan yang berujud ketupat.

Sesuai cerita yanng sempet saya tahu bahwa Sunan Bonang adalah satu dari sekian orang yang menunjukkan satu perlambang tentang puasa dan hari raya dengan melalui simbol-simbol budaya Jawa. Beliau berujar bahwa hendaknya kita dalam menjalankan ibadah puasa musti sungguh-sungguh dengan harapan agar nantinya setelah berpuasa bisa menikmati ketupat yang dalam bahasa Jawanya lebih sering disebut sebagai kupat.

Sebagian dari kita tahu, Kupat adalah makanan yang berasal dari nasi putih yang dimasak di dalam janur, yaitu daun kelapa yang masih muda . Sementara nilai Philosophy dari kata Janur itu sendiri melambangkan sebuah arti dari jatining nur, sejatinya Cahaya, dapat di definisikan sebagai putih bersihnya hati karena telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan secara ikhlas dan sungguh-sungguh. Selain itu kupat juga bisa diartikan sebagai laku sing papat dengan kata lain terdapat empat keadaan yang akan di terima sebagai berkah oleh meréka-meréka yang mampu melaksanakan ibadah puasa secara benar. Empat keadaan sebagai berkah itu adalah lebar, lebur, luber, dan labur.

Lebar secara harafiah bisa di artikan selesai, dapat di definisikan berarti selesai kewajiban puasanya dengan melegakan. Sedangkan lebur arti harfiahnya adalah hilang, jadi mampu di artikan terhapus semua dosa yang pernah dilakukan pada masa lalu. Luber harfiahnya adalah melimpah , sehingga bisa dijlèntrèhkan sebagai berlimpah-ruahnya pahala dan amal-amalnya. Labur adalah satu cat yang berwarna putih-bersih, berarti bersih dirinya dan cerah-bercahaya wajah bagi meréka yang lolos ibadah puasanya.

Namun selain hal tersebut diatas, masih ada lagi satu deskripsi mengenai makna tersembunyi dari tradisi yang menggunakan kupat tersebut, yaitu laku papat yang menunjukkan pada satu pernyataan tentang sedulur papat lima pancer-kakang kawah adhi ari-ari. Sebenarnya banyak sekali pemaknaan atas kalimat ini, namun coba saya sebut satu yang masih sangat berhubungan dengan pokok-bahasan kupat diatas. Sedulur papat lima pancer dapat didefinisikan sebagai empat tempat yang berfungsi sebagai saudara mata angin kita, ada barat-timur-utara juga selatan atau bisa juga arah kanan, kiri, depan dan belakang. Sementara kakang kawah adhi ari-ari sebagai atas dan bawah.

Itu semua adalah pilihan sikap satu hidup yang kita jalani. Dengan puasa diharapkan kita semua bisa membedakan arah tersebut. Dari nilai tradisi sungguh dapat dilihat bahwa Sunan Bonang dan juga sunan-sunan lain penyebar Islam di tanah Jawa telah menyampaikan satu titik pesan budaya luhur pada kita semua. Semoga kita semua mampu merawat dan menjaganya sehingga tetap adiluhung tak di caplok oleh negara lain. Kita tahu kalau para Sunan pada saat itu bisa menyelaraskan serta menterjemahkan pesan penting tentang puasa dengan bahasa dan budaya Jawa, tentu saja hal ini dilakukan juga berdasarkan riset setelah menggali dengan tidak menyimpang dari pesan aslinya melalui pesan Kanjeng Nabi Muhammad dalam bahasa dan budaya Arab. Tak ada pemaksaan kehendak disana, bahwa harus mengenakan pakaian tradisi ala Arab…

Inti dari dakwah Sunan Bonang tentang ibadah puasa untuk menuju Jatining Nur dan meraih Laku sing Papat itu tak menyimpang dari ajaran, bahkan mampu dibuktikan dalam satu Hadist, “Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan penuh kesungguhan (maka) akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.”

Masih menurut pemahaman sebagai masyarakat Jawa bahwa pengampunan atas dosa yang pernah diperbuat adalah sejalan dengan pemaknaan tentang jatining nur, penggambaran pada hati yang putih-indah layaknya sebuah janur yang menyehatkan. Hal inipun masih sejalan dengan wulang-reh pada Tembang Dandanggula, Pamedhare wasitaning ati -terbukanya pintu hati… Bahwa pintu hati ini adalah juga suara Qalbu, karena kebersihan hati akan menjadi pemelihara yang sangat ampuh bagi kesehatan rohani dan jasmani.

Jatining nur-Kebersihan hati sangat erat sekali pada pemaknaan sebuah peringatan kesucian, Fitrah. Sehubungan dengan itu dengan tersimbulkan padabentuk janur tersebut yang diharap adalah pemaknaan akan arti sebuah kesucian batin. Jatining nur atau hati yang putih-bersih diperoleh karena pembersihkan dan pengampunan oleh Allah atas dosa-dosa yang tlah berlalu.

Pada akhirnya orang yang mendapat ampunan dari segala dosa itu berhak menikmati empat keadaan (kupat, laku sing papat). Orang yang berpuasa dengan iman dan sungguh-sungguh akan memasuki lebar (lebaran) atau menyelesaikan tugas dengan baik. Dan setelah terselesaikan tugas puasa dengan baik maka akan lebur (habis) semua dosanya, bahkan orang tersebut juga menikmati luber (melimpah ruah) pahala amal-amalnya sehingga menjadi labur atau indah berseri wajahnya.

Satu nilai budaya sekaligus philosophy dari dakwahnya Sunan Bonang tentang Kupat-Janur klapa tersebut selanjutnya semoga mampu kita jadikan pedoman refleksitas bersosial antar manusia, mampu kembali menjadi manusia suci layaknya bayi yang baru saja lahir, tercipta satu rasa tawadhu’, jauh dari kesombongan, dan tidak mau bersikap sewenang-wenang atau melanggar hak-hak orang lain dengan tindakan menyakiti hati sesama makhluk CiptaanNYA. Sehingga tercipta satu hubungan erat baik itu yang bersifat Vertikal maupun Horisontal, Hablum minallah & Hablum Minanas. Tak bakalan lagi ada rasa kecurigaan dan permusuhan diantara kita, baik itu satu keyakinan ataupun lain keyakinan, karena telah merasa damai hatinya, bagiku ya keyakinanku, bagimu ya Keyakinanmu, Lakum Dinukum Waliyadin. Dan pada akhirnya pilihan baik dan buruk itu adalah tindakan kita sendiri yang tentu saja didasarkan pada tindakan atas pemahaman satu keyakinan… [uth]

Kupat Janur Klapa, Menawi Lepat Nyuwun Pangapura…

0 comments:

Post a Comment